[story blog tour] Menemukan yang Dicari

Ini adalah Challenge menulis OWOP (One Week One Paper). Temanya STORY BLOG TOUR.
Setiap  member yang sudah diberi urutan melanjutkan sesuai imajinasinya di blog pribadinya.
Aku Crafty (biasa dipanggil Rini, di OWOP) mendapatkan giliran untuk membuat episode enam dalam serial STORY BLOG TOUR ini.

Cerita sebelumnya
2. Lisma : Sepenggal Harap

Dan inilah episode ke-enamnya. Cekidot~



“Pemuda ini… ya ini orangnya. Kok bisa ada di sini?” Sarno memiringkan kepalanya lalu garuk-garuk kepala. Kardi menatap lekat wajah Karman, anak muda yang memberi harapan baru di surau tuanya. Sejenak, Kardi mengakui gurat-gurat wajah Karman mirip sekali dengan Kardi muda, batinnya gusar. Ia tertegun dan tampak tak tenang. Ingatan tentang Marni menyeruak ke dalam hatinya yang kelu, dan rindu pada sosok itu. Tetapi…

Wes aku pamit dulu, No.” Akhirnya itu yang ia putuskan. Segera pamit dan mencari tahu sendiri latar belakang Karman yang telah mengaduk-aduk hatinya sejak subuh tadi.

-----

Lembayung senja menyeringai sudah yang sudah tampak tua. Setua Kardi yang tertegun di sudut surau, memperhatikan diri yang tertampak letih di hadapannya. Ia tak banyak mengajak Karman bicara sepulang dari rumah Sarno. Usai menunaikan shalat dzuhr di hari yang sudah terik itu, Kardi memberinya makan, lalu membiarkannya terlelap melepas lelah seharian kemarin berkelana, mencari bapaknya. Kardi merasa takdir telah menjawab gunda hatinya. Kerinduan pada Marni, berganti dengan pertemuannya pada anak muda ini. Anak muda yang tak pernah ia pikirkan sebelumnya, tetapi saat ini membuatnya ingin menjadi seorang bapak. Walau di usianya yang sudah di ujung senja.

Hingga panggilan shalat selanjutnya, suara serak Kardi membuat anak muda itu terjaga. Matanya perlahan membuka, melihat sosok lelaki tua yang berdiri tegap walau badannya sudah tak tegap lagi. Matanya menyibak ke seluruh sendi tubuh Kardi. Kepalanya yang diamati dari sisi samping Kardi berdiri, belahan rambut yang tertampak rapih menyisir jajaran rambut yang menjuntai sampai ke leher, seperti tak terawat tapi persis seperti belahan rambutnya. Tangannya, yang diletakkan di sebelah telinga kanannya, keriput dan coklat tua. Badannya, lengan yang sudah melemah, dan kaki yang agak sedikit bergetar.
Matanya mulai tak kabur, membuka dengan jelas, tubuh Kardi menjadi fokus retinanya hingga ia terduduk. Kardi meliriknya, mendekatinya. Lalu menyentuh pundaknya dan berkata, “ambillah wudhu, Nak. Mari shalat bareng Bapak.” Ucap Kardi tegas namun terdengar syahdu.

Karman menangkap kehangatan yang terpancar dari sentuhan tangan Kardi. Belum pernah ia merasakan damai yang tercipta beberapa detik lalu. Ia mengangguk dan tersenyum tipis kepada Kardi, yang entah perasaan dari mana membuatnya merasakan telah menemukan yang dicari.

Kali ini Kardi memanjangkan sujudnya sebelum salam. Hatinya memasrah. Buliran air mata merembes di sudut matanya. Rasa sakit, pilu, dan rindu membalut jiwanya yang kini tak merasa sepi.

“Rabbana hablana minladunka rahmah.. innaka antassami’uddua…”

Tengadah Kardi pada Rabbnya. Tangannya gemetar menelungkap diusapkannya ke wajah dan dada. Meresapi jemarinya yang sudah tak kokoh lagi, yang dulu menggenggam tangan indah Marni, istrinya yang amat dirindui..

“Pak…” panggil anak muda yang telah menjadi makmumnya seharian ini, setelah Kardi terdiam cukup lama tanpa bergerak sedikit pun dari sejadah lusuhnya. Kardi menoleh.

“Ya, Nak.” Jawabnya lirih dan dalam. Hatinya bak bunga layu yang terpancar hangat oleh cahya mentari, menyelipkan harap-harap titian kehidupan, yang akan lain dari hari-hari sebelumnya yang sendu.

“Bapak tinggal di sini ya? Apakah Bapak punya keluarga? Dan… kenapa taka da yang datang untuk shalat di surau, Pak?” ada banyak tanya yang ingin segera Karman sampaikan. Ia mengharap, jawaban-jawaban Kardi akan menjadi jawaban dari ungkapan terakhir ibunya sebelum meninggal. Ya, harapan yang pula ada di sanubari Kardi.

Kardi tersenyum sekaligus terenyuh. “Mari, Nak. Kita duduk di depan teras saja.” Ajak Kardi merangkul bahu Karman. Karman membalas senyumnya dengan seribu tanya yang bergejolak di hati.

“Seperti yang kau lihat, Nak. Aku hanyalah lelaki tua di penghujung usia. Mungkin waktuku hidup, juga akan habis, seperti ibumu.” Karman merasa, setiap inci gerak dan setiap Kardi berbicara, keyakinannya menguat, bahwa ia telah menemukan pencariannya. Ia ingin segera bertanya apakah Kardi adalah bapaknya. Apakah, apakah, dan apakah yang membuatnya gusar namun ingin mendengar cerita Kardi dengan seksama.

“Tak pernah ada sebelummu, yang menjadi shaf shalat di surau ini. Aku merindukan sepasang kaki yang melangkau ke surau, tapi harapanku selalu pupus setiap usai kumandang adzan, dan aku harus segera tegakkan shalat. Sendiri dan sendiri lagi. Sepi… Namun hari ini kau telah menghidupkan semangatku, Nak!” Kardi tersenyum bangga pada Karman. Yang telah menjadi makmum yang diharap-harapnya selama ini adalah anaknya sendiri. Sebuah dugaan yang ia harap tak akan meleset lagi.

“Tapi Pak, saya sebenarnya nggak bisa shalat. Saya Cuma ngikutin Bapak.” Kardi tetap tersenyum. Entah aliran dari mana, Karman berusaha jujur pada lelaki tua ini.ia merasa dekat, sehingga tak perlu menyembunyikannya.

“Tidak apa, Nak. Nanti akan Bapak ajari.” Naluri kebapakannya muncul lagi.

“Aku tak ingin bicara tentang masa laluku, Nak. Karena… ia adalah cerita yang teramat panjang. Yang mengantarkanku pada ketundukan, dan aku mengenal diriku seutuhnya, sebagaimana aku ingin sekali mengenal Rabbku, Allah. Surau inilah yang mengingatkanku pada panggilan-panggilan-Nya. Telah menepis masa laluku yang kelam. Dan.. mengobati rinduku pada istriku. Ya, istriku…” Kardi terdiam, menunduk dan mengusap matanya. Karman bergidik, batinnya makin gelisah.

Udara-udara di senja itu menjadi sibak tabir antara dua orang lelaki yang dipaut usia. Keduanya tak saling mengenal namun obrolannya merekatkan jiwa yang kesepian.


“Marni…” ucapnya lirih.


Next story, cek blog Mas Imron yuk, :)

0 komentar: